Tampilkan postingan dengan label Buddhism. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Buddhism. Tampilkan semua postingan

Jumat

Buddha - Empat Kebenaran Utama


Buddha Gautama menerima dan melanjutkan ajaran agama Brahma/Hindu tentang Karma, yakni hukum sebab-akibat dari tindak-laku di dalam kehidupan, dan ajaran tentang Samsara, yakni lahir berulangkali ke dunia sebagai lanjutan Karma; dan ajaran tentang Moksha, yakni pemurnian hidup itu guna terbebas dari Karma dan Samsara.
Sekalipun Buddha Gautama menerima ajaran tentang Karma dan Samsara itu akan tetapi dia menyelidiki dan meneliti pangkal sebab dari keseluruhannya itu, dan merumuskannya di dalam Empat Kebenaran Utama.
Sekalipun Buddha Gautama menerima ajaran tentang Moksha itu, akan tetapi dia tidak dapat menerima dan membenarkan upacara-upacara kebaktian penuh korban bagi mencapai Moksha itu; dan lalu menunjukkan jalan yang hakiki bagi mencapai Moksha yang dirumuskannya dengan Delapan jalan Kebaktian.
Kotbah Pertama dari Buddha Gautama di Isipathana, dalam Taman Menjangan, dekat Benares, berisikan uraian panjang lebar mengenai Empat Kebenaran Utama dan Delapan Jalan Kebaktian itu, yang keseluruhan uraian itu disimpulkan sebagai berikut:

Empat Kebenaran Utama :
Ada itu suatu Derita (Dukkha).
Derita itu disebabkan Hasrat (Tanha).
Hasrat itu mestilah Ditiadakan.
Peniadaan itu dengan Delapan Jalan.
Delapan Jalan Kebajikan :
Pengertian yang Benar (Samma-ditthi).
Maksud yang Benar (Samma--sankappa).
Bicara yang Benar (Samma-vaca).
Laku yang Benar (Samma-kammarta).
Kerja yang Benar (Samma-ajiva).
Ikhtiar yang Benar (Samma-vayama).
Ingatan yang Benar (SaJnma-sati).
Renungan yang Benar (Samma-samadhi)

Di dalam Sutta-pitaka, pada bagian Dhammapada, dikisahkan bahwa sewaktu roda Doktrin itu mulai digerakkan oleh sang Buddha Gautama maka para dewa di Bumi dan di langit hiruk-pikuk, sampai pun kepada Brahma sendiri, karena doktrin itu "suatu roda yang belum pemah digerakkan selama ini oleh seorang pertapa, brahmin, dewa, mara, brahma, atau oleh siapa pun di dunia."
Demikian Dhummpada, di dalam Sutta-Pitaka, mengagungkan doktrin yang paling sentral di dalam al!ama Buddha itu.

Triratna
Triratha itu bermakna : Tiga Permata. Dimaksudkan tiga buah Pengakuan dari setiap penganut agama Buddha, seperti hal- nya dengan Credo di dalam agama Kristen ataupun Syahadat di dalam agama Islam. Tiga Pengakuan di dalam agama Buddha itu berbunyi :
Buddham saranam gacchami.
Dhammam saranam gacchami.
Sangham saranam gacrhami
Bemakna
Saya berlindung di dalam Buddha.
Saya berlindung di dalam Dhamma.
Saya berlindung di dalam Sangha.
Triratna itu harus diucapkan tiga kali. Pada kali yang kedua diawali dengan Dutiyam, yang bermakna : buat keduakalinya. Pada kali yang ketiga diawali dengan Tatiyam, yang bermakna: buat ketiga kalinya.
Buddha di dalam Triratna itu dimaksudkan : Buddha Gautama. Dhamma disitu dimaksudkan : pokok-pokok ajaran. Sangha disitu dimaksudkan : biara. Ketiga-tiganya itu dinyatakan azas perlindungan bagi setiap penganut agama Buddha, yakni azas keyakinan yang dianut mazhab Theravada maupun mazhab Mahayana.

Alam semesta dan alam gaib.
Siddharta Gautama tidak menolak dan tidak pula memper- kembang ajaran tentang alam semesta dan alam gaib, dengan arti, tidak hendak berbicara tentang itu. Di dalam Sutta-Pitaka, pada bagian Majjhima-Nikaya dalam Sutta 63, diceritakan bahwa seorang murid bernama Malunkyiaputera bertanyakan hal itu dan Buddha Gautama memberikan jawabannya, katanya :
"Kehidupan beragama itu, Malunkyiaputera, tidak tergantung pada ajaran bahwa alam itu abadi; sebaliknya kehidupan beragama itu, hai Malunkyiaputera, tidak tergantung pada ajaran bahwa alam itu tidak abadi. Sekalipun ajaran serupa itu ada, Malunkyiaputera, bahwa alam itu abadi atau alam itu tidak abadi, tetapi disitu tetap ada kelahiran, usia tua, maut, duka, ratapan, derita, kemalangan, dan kekecewaan, yang peniadaan seluruhnya di dalam kehidupan, sengaja saya uraikan.
Karena itu hai Malunkyiaputera, tanamkan dalam ingatan akan apa yang tidak saya jelaskan, dan akan apa yang saya jelaskan. Dan apakah, hai Malunkyiaputera, yang tidak saya jelaskan ?
Saya tidak menjelaskan, hai Malunkyiaputera, bahwa alam itu kekal; saya tidak menjelaskan bahwa alam itu tidak kekal saya tidak menjelaskan bahwa alam itu terbatas; saya tidak menjelaskan bahwa alam itu tidak terbatas; saya tidak menjelaska bahwa jiwa dan tubuh itu bersamaan; saya tidak menjelaska bahwa jiwa itu lain dan tubuh itu lain; saya tidak menjelaska bahwa orang-suci itu tidak hidup kembali sesudah mati; saya tidak menjelaskan bahwa orang-suci itu bukan hidup dan bukan tidak-hidup kembali sesudah mati.
Dan kenapa, hai Malunkyiaputera, saya tidak hendak menjelaskannya ? Sebabnya. Malunkyiaputera, hal itu tidak menguntungkan, bahkan tidak ada sangkut-pautnya dengan hal-hal yang paling azasi dalam agama, malah tidak mengarah kepada pencegahan dan peniadaan nafsu, perhentian, ketenangan, pembebasan, hikmat tinggi, dan Nirwana. Justru karena itu saya tidak hendak menjelaskannya……."
Demikian Sakyamunj mengemukakan pendiriannya mengenai masalah-masalah yang bersipat filsatat, baikpun mengenai alam semesta maupun alam gaib. Tidak hendak berbicara tentang asal-usul alam semesta dan bagaimana timbulnya dan siapa penciptanya, la lebih menitik-beratkan ajarannya pada bimbingan yang praktis bagi perbaikan hidup manusia. Justru karena itu biara dan tempat-tempat kebaktian pada masa hidupnya tidak berhiaskan apapun. Segala-galanya dalam bentuk sederhana dengan tujuan hidup suci, yakni moksha.
Terhadap pendirian Sakyamunj itu ada pihak yang menapsirkan, yakni dalam kalangan sarjana-sarjana agama perbandingan, bahwa agama Buddha itu pada hakikatnya Atheistis, yakni tidak mempercayai kodrat gaib apapun juga. Akan tetapi penapsiran serupa itu tidak tepat. Tidak hendak memcarakannya bukan bermakna tidak mempercayainya.
Di dalam agama apapun juga, termasuk agama Yahudi dan Kristen dan Islam, ada aliran yang berpendirian bahwa dalam masalah-masalah metafisika itu Akal akan tidak mampu mencapai hakikat dan kebenaran secara pasti. Justru di dalam hal itu Akal mestilah menundukkan diri kepada Wahyu. Di dalam agama Islam, pendirian serupa itu dianut oleh aliran Salaf.
Immanuel Kant (1724-1804), ahlipikir Jerman terbesar menjelang pengujung abad ke-17 masehi, telah membuktikan ketidak-mampuan Akal bagi mencapai kepastian dalam masalah- masalah metafisika itu dengan mengemukakan Empat Antinomi di dalam karyanya Critique Of Pure Reason.
Atas dasar itulah harus dipahamkan dan ditapsirkan apa yang dinyatakan oleh Siddharta Gautama itu, seperti termuat di dalam Sutta-Pitaka pada bagian Majjhima-Nikaya itu.
Penghapusan kasta masyarakat.
Kasta Brahmin di dalam agama Brahma/Hindu merupakan kasta paling mulia dan kasta Sudra merupakan kasta paling hina. Buddha Gautama menolak pembagian lapisan di dalam masyarakat.
Di dalam Sutta-Pitaka pada bagian Dhammapada, yakni dalam Sutta 26 :3, Buddha Gautama berkata : "Saya tidak menyebut seseorang itu Brahmin, karena turunannya ataupun karena ibunya. Orang serupa itu congkak dan kaya. Tetapi orang melarat yang terbebas dari segala godaan shahwati, dia itulah yang saya panggilkan Brahmin."
Ajaran itu amat "revolusioner" buat masanya itu. Dan, karena itulah agama Buddha itu cepat meluas dan berkembang pada anakbenua India dan sebaliknya agama Hindu makin ter- desak dan tersudut.

Konsili Pertama
Taklama sesudah Buddha Gautama meninggal pada tahun 483 sebelum Masehi maka sejumlah 900 orang Murid Terutama berkumpul di Rajagriha. Disitu dibicarakan dan dirumuskan sari ajaran Sakyamuni tentang pokok-pokok ajaran (Dharnma) dan tentang peraturan beserta tata tertib (Vinaya) yang harus ditaati setiap bikkhu dan bikkhuni dalam masyarakat biara (Sangha).
Musyawarah besar di Rajagriha itu, pada perempat terakhir dari abad ke-5 sebelum Masehi, terpandang Konsili Pertama dalam sejarah agama Buddha. Perumusan sari-sari ajaran Sakyamuni itu diwariskan turun temurun secara lisan seperti kebiasaan yang berlaku pada masa itu, belum sipat tertulis. Perikeadaan itu serupa dengan hirnpunan Al-Hadits di dalam sejarah agama Islam, yang pada abad ke-2 dan abad ke-3 sepeninggal Nabi Muhammad, barulah dikumpulkan secara tertulis.

Konsili Kedua
Satu abad kemualan, yakni pada pertengahan abad ke-4 sebelum Masehi, berlangsung musyawarah lagi di Vaisali mengenai peraturan beserta tata tertib (Vinaya) yang harus ditaati setiap rahib dalam masyarakat biara (Sangha). Musyawarah di Vaisali itu merupakan Konsili Kedua dalam sejarah agama Buddha.
Di situ bermula perpisahan dua aliran:
Golongan Konservatif yang menyebut dirinya Sthaviravadins, yang pada masa belakangan lebih dikenal dengan aliran Theravada, bersikap mempertahankan kesederhanaan ajaran Sakyamuni.
Golongan Liberal yang memberikan penapsiran-penapsiran lebih bebas atas ajaran Sakyamuni dan menyebutkan dirinya Mahasanghikas, yang pada masa belakangan lebih dikenal dengan aliran Mahayana
Kira-kira pada masa inilah disusun Empat Himpunan Baru di dalam Sutta-Pitaka, yang satu persatu himpunan itu dipang- gilkan Nikaya. Tahadinya Sutta-Pitaka itu cuma terdiri atas Digha Nikaya, terdiri atas 34 sutta. Sebagiannya amat terkenal dan sebagiannya lagi sedikit saja dipergunakan pada umumnya.
Paling terkenal di antara 34 sutta itu ialah Maha-parinib- bhana-sutta (Book.of Great Decease, Sutta tentang Kemangkatan Terbesar), berisikan berbagai pembahasan pada masa tiga bulan terakhir dari kehidupan Buddha Gautama beserta ucapan-ucapannya yang hampir-hampir dapat dipastikan otentiknya

Empat Himpunan Baru itu ialah :
Majjhima Nikaya, atau sutta yang sedang saja panjangnya, terdiri atas 152 sutta yang sipat isinya pendek-pendek, terbagi ke dalam 15 buah vaggha, yaitu kelompok masalah.
Samyutta Nikaya, berisikan 56 buah kelompok-Sutta (samyutta) berkenaan dengan pokok-pokok soal ataupun berkenaan dengan tokoh-tokoh utama. Diantara isinya sebuah versi tentang Khotbah Pertama di Benares, dikenal dengan Kotbah Penggerak Roda (Wheel-turning-Sermon}, sesudah Siddharta Gautama beroleh pencerahan di bawah pohon-Hikmat.
Anguttara Nikaya, berisikan 2.308 sutta, tersusun dalam 11 buah Nipata, yaitu kelompok, masalah. Masalah pertama berbicara tentang Buddha. Kelompok kedua berbicara tentang dua macam Buddha, dua macam tata laku dalam rimba-hidup. Kelompok ketiga berbicara tentang tiga macam rahib. Kelompok keempat berbicara tentang empat macam jalan menuju Nirwana. Begitu seterusnya sampai kelompok kesebelas yang berbicara tentang sebelas macam kebajikan dan sebelas macam kemunkaran.
Kuddhaka Nikaya, kumpulan berbagai sutta, berisikan pembahasan tentang hal-hal yang tidak termasuk dalam kelompok Nikaya lainnya. Di dalam himpunan ini diantara lain dijumpai Kuddhaka--patha, tentang pokok-pokok azasi dari kehidupan Buddha; dan Metta sutta tentang pengertian dan kegunaan cintakasih bagi tata-hidup manusia; dan Mahamangala-sutta tentang berbagai kerahiman yang dipandang paling terbesar; dan Dhammapada berisikan 423 bait sajak terbagi atas 26 vaggha (bab) membicarakan tentang nilai-nilai (ethika) yang merupakan pegangan hidup dan merupakan sutta paling terkenal dari seluruh kitab suci agama Buddha. Di antara lainnya dijumpai pula Theragatha dan Therigatha. yaitu nyanyian keagamaan untuk rahib lelaki dan nyanyian keagamaan untuk rahib wanita, yang kedudukannya mirip dengan Kitab Mazmur di dalam agama Yahudi dan agama Kristen. Juga di dalam himpunan Kuddhaka Nikaya itu terdapat kumpulan kisah-kisah Jataka (Dzanecka) tentang berbagai kehidupan yang lebih duluan dari Buddha pada berbagai penjelmaannya.
Itulah empat himpunan baru yang berupa tambahan terhadap Sutta'--Pitaka dan disusun sehabis Konsili Kedua. Terlebih khusus merupakan pegangan bagi mazhab Mahasanghikas (Maha- yana).

Konsili Ketiga.
Pada tahun 327 sebelum Masehi terjadi penyerbuan Iskandar Makedoni (356-323 SM) dari Asia Tengah melalui Khyber Pass ke dalam anak benua India, menempatkan seorang panglimanya menjabat gubernur India berkedudukan di kota Taksila, yang dewasa ini terletak dekat Pashawar. Pengaruh kekuasaan Grik pada anakbenua India itu tampak pada senipahat dan seni bangunan beserta pengaruh mithologi Grik itu tampak pada perkembangan keyakinan keagamaan di dalam agama Brahma/Hindu di India, yakni muncul keyakinan Trimurti dan Trishakti beserta pemujaan dewa-dewa lainnya.
Kekuasaan Grik itu sempat berkuasa seperempat abad lamanya dan pada akhimya ditumbangkan oleh dinasti Maurya. (321-184 SM), yang dibangun oleh Chandragupta berkedudukan di Pataliputra (Patna), la berhasil merebut ibukota Taksila itu dari tangan Selaucus Nicator pada tahun 305 sebelum Masehi.
Pada tahun 274 sM cucunya Kaisar Asoka (274 -236 sM) naik berkuasa, dan ditangan cucunya itu, dinasti tersebut merupakan imperium besar tiada taranya pada.anakbenua India. Kaisar Asoka itu pada akhirnya melepaskan agama Hindu dan memeluk agama Buddha dan mengumumkannya Agama-Resmi dalam imperium India. Agama itu mencapai puncak kemegahannya tiga abad sesudah Buddha Gautama meninggal dunia.
Pada tahun 244 sebelum Masehi berlangsung Konsili Ketiga di Pataliputera (Patna), ibukota imperium, atas anjuran Kaisar Asoka. Pada masa itulah pokok-pokok ajaran Budha Gautama itu mulai disusun secara tertulis di dalam bahasa Pali, terdiri atas tiga himpunan, dan tiga himpunan itulah yang disebut Tripitaka.
Jarak masa antara Sakyamuni dengan penyusunan himpunan tertulis itu telah berlalu tiga abad lamanya. Dalam masa yang panjang itu telah berlaku penapsiran-penapsiran lebih bebas dari oihak Mahasanghikas. Dengan begitu telah sulit membedakan manakah yang betul-betul ucapan Buddha Gautama, karena semuanya disandarkan pada sabda Buddha Gautama.
Dalam pada itu Kaisar Asoka, demikian William L. Langer di dalam Encyclopedia of World History edisi 1956 halaman 42, mengirimkan missi-missi Buddha ke berbagai
penguasa di luar anakbenua India, diantaranya ialah : Syria, Egypte, Cyrene (Lybia), Makedonia, dan Epirus (Grik). Tetapi cuma memperlihatkan hasil gemilang di Sailan dan di Birma.
Sekalipun pada tempat-tempat lainnya itu agama Buddha tidak berkembang seperti di Sailan dan di Birma itu akan tetapi pengaruh ajarannya cukup kuat mempesonakan kalangan terpelajar disitu hingga meresapi berbagai aliran filsafat, umpamanya Stoicism dan Neoplatonism. Sedangkan aliran Neoplatonism itu, yang sejak abad ke-3 masehi meresapi agama Kristen melalui St. Augustinus (354 -430 M), melahirkan sistem rahib dan biara dalam dunia Kristen.

Kemunduran agama Buddha di India.
Dinasti Maurya (321-184 sM) itu pada akhirnya ditumbangkan oleh dinasti Sungga (184 sM-78 M) pada tahun 184 sebelum Masehi. Dinasti baru itu mengambil kaum Brahmin menjadi penasihat-penasihat kerajaan (Kanvas). Mereka itu melakukan tekanan keras terhadap pengikut agama Buddha hingga akhirnya pengaruh agama Buddha, itu berangsur-angsur susut pada anak benua India.
Tetapi sejak tahun 78 sebelum Masehi terjadi pemberontakan di sana-sini, yang berkelanjutan dekat satu abad lamanya, dan terbentuk kembali penguasa-penguasa setempat yang menyatakan dirinya bebas dan berdaulat. Sekalipun begitu, satu persatunya tetap mempertahankan agama Hindu dan melakukan tekanan terus-menerus terhadap agama Buddha.

Konsili Keempat.
Pada masa itulah berlangsung Konsili Keempat di kota Jalandra dalam wilayah Punjab (Pertemuan Lima Sungai) dibawah prakarsa sekta Sarvastivada, yaitu pecahan mazhab Theravada. Tripitaka disalin ke dalam bahasa Sanskrit. Dibalik itu disusun bungarampai dalam bahasa. Sanskrit, bernama Agamas, bersamaan isinya dengan Nikaya.
Di sekitar masa itulah agama Buddha terpecah kedalam dua mazhab besar, berdasarkan bibit-bibit yang telah tumbuh sebelumnya, yang pokok keyakinan maupun pokok ajaran sudah sangat berbedaan, yaitu .
Hinayana. (Kereta Kecil), yang ingin mempertahankan kesederhanaan ajaran Sakyamuni. Nama itu diberikan oleh lawannya. Sedangkan para pengikut mazhab itu tetap mempertahankan namanya yang asli, yaitu Theravada, yakni aliran Tokoh-Tokoh Tertua (the Elders).
Mahayana, (Kereta-Besar), yang bersikap mempertahankan penapsiran atas setiap ajaran Sakyamuni, sebagai lanjutan dari sekta Mahasanghika; memusatkan pemujaannya pada pribadi Buddha, dan memperkembang ajaran tentang kodrat-kodrat gaib yang dipanggilkan dengan Bodhisatvas.
Di sekitar masa itulah disusun tujuh buku Abhidhamma dalam bahasa Sanskrit berisikan pembahasan-pembahasan yang filosofis atas setiap ajaran dan keyakinan keagamaan. Tujuh buku Abhidhamma itulah, beserta Mahayana-Sutras lainnya yang disusun pada masa belakangan, dipanggilkan dengan himpunan tennuda.
Sepeninggal dinasti Kushana (78-178 M) itu, yakni semenjak abad ketiga masehi, pengaruh agama Buddha pada anakbenua India makin mundur. Menjelang pertengahan abad ke-5 masehi lantas pengaruhnya itu lenyap dari bumi India, kecuali kelompok-kelompok kecil pada pusatnya masing-masing, dan sebaliknya berkembang dengan luas di Sailan, Birma, Muang- thai, Kamboja, Laos, Annam, dan terlebih-lebih di Tiongkok dan Korea dan Jepang.

Rabu

Concepet of Ethic in Buddhism

In Buddhism, moral virtue is the foundation of the spiritual path, though a fixed attachment to ethical precepts and vows is seen as a hindering ‘fetter’. Virtue generates freedom from remorse, and this leads on though gladness and joy to meditative calm, insight and liberation. While this model of ethics as part of ‘path’ predominates, it is modified in some Mahayana schools, particularly in Japan. Here, Soto Zen sees morality as the making manifest of one’s innate Buddha-nature, while Jodo-shin sees it as simply expressing gratitude to Amitabha for having saved one.
A moral life is not a burdensome duty or set of ‘oughts’ but an uplifting source of happiness, in which the sacrifice of lesser pleasures facilitates the experiencing of more enriching and satisfying ones. Having no real ‘oughts’, Buddhist ethics has levels of practice suiting different levels of commitment, rather than one set of universal obligations. Most importantly, monks and nuns make undertakings ruling out actions, such as sexual intercourse, which are acceptable for layperson.
The Fourth Noble Truth is that of the way leading to the cessation of Dukkha (Dukkhaniro dhagaminipatipada-ariyasacca). This is known as the ‘Middle Path’ (Majjhima Patipada), because it avoids two extremes: one extreme being the search for happiness through the pleasures of the senses, which is ‘low’, common, unprofitable and the way of the ordinary people’; the other being the search for happiness through self-mortification in different forms of asceticism, which is ‘painful, unworthy and unprofitable’. Having himself first tried these two extremes, and having found them to be useless, the Buddha discovered through personal experience the middle path ‘which gives vision and knowledge, which leads to calm, insight, enlightenment, nirvana’. This middle path is generally referred to as the Noble Eightfold Path (Ariya-Atthangika-Magga), because it is composed of eight categories or divisions :
1. Right Understanding ( Samma ditthi )
2. Right Thought ( Samma sankappa )
3. Right Speech ( Samma vaca )
4. Right Action ( Samma kammantha )
5. Right Livelihood ( Samma ajiva )
6. Right Effort ( Samma vayama )
7. Right Mindfulness ( Samma sati )
8. Right Concentration ( Samma Samadhi )
Practically the whole teaching of the Buddha, to which he devoted him self during 45 years, deals in some way or others with this path. He explained it in different words to different people, according to the stage of their development and their capacity to understand and follow him. But the essence of those many thousand discourses scattered in the Buddhist Scriptures is found in the Noble Eightfold Path.
It should not be thought that the eight categories or divisions of the path should be followed and practiced one after the other in the numerical order as given in usual list above. But they are to be developed more or less simultaneously, as far as possible according to the capacity of each individual. They are all linked together and each helps the cultivation of the others.
These eight factor aim at promoting and perfecting the three essential of Buddhist training and discipline.
a) Ethical Conduct ( Sila )
b) Mental Discipline ( Samadhi )
c) Wisdom ( Panna )
Ethical Conduct ( Sila ) is built on the vast conception of universal love and compassion for all living beings, on which the Buddha’s teaching is based. It is regrettable that many scholars forget this great idea of the Buddha’s teaching, and indulge in only dry philosophical and metaphysical divagations when they talk and write about Buddhism. The Buddha gave his teaching ‘for the good of the many, for the happiness of the many, out of compassion for the world’ ( bahujanahitaya bahujanasukhaya lokanukampaya )
Ethical Conduct based on love and compassion, are included three factors of Noble Eightfold Path : Right Speech, Right Action and Right Livelihood.
Right Speech means abstentions (2) from telling lies, (2) from backbiting and slander and talk that may bring about hatred, enmity, disunity and disharmony among individuals or groups of people, (3) from harsh, rude, impolite, malicious and abusive language, and (4) from idle, useless and foolish babble and gossip. When one abstains from these forms of wrong and harmful speech one naturally has to speak the truth, has to use words that are friendly and benevolent, pleasant and gentle, meaningful and useful. One should not speak carelessly: speech should be at the right time and place. If one cannot say something useful, one should keep ‘noble silent’.
Right action aims at promoting moral, honorable and peaceful conduct. It admonishes us that we should abstain from destroying life, from stealing, from dishonest dealing, from illegitimate sexual intercourse, and that we should also help others to lead a peaceful and honorable life in the right way.
Right livelihood means that one should abstain from making one’s living through a profession that bring harm to others, such a trading in arms and lethal weapons, intoxicating drinks, poisons, killing animals, cheating, etc, and should live by a profession which is honorable, blameless and innocent of harm to others. One can clearly see here that Buddhism is strongly opposed to any kind of war, when it lay down that trade on arms and lethal weapon is an evil and unjust means of livelihood.
The three factors (Right Speech, Right Action and Right Livelihood) of the Eightfold Path constitute Ethical Conduct. It should be realized that the Buddhist ethical and moral conduct aims at promoting a happy and harmonious life both for the individual and for society. This moral conduct is considered as the indispensable foundation for all higher spiritual attainment. No spiritual development is possible without this moral basis.
Buddhist ethics finds its foundation not on the changing social customs but rather on the unchanging laws of nature. Buddhist ethical values are intrinsically a part of nature, and the unchanging law of cause and effect. The simple fact that Buddhist ethics are rooted in natural law makes its principles both useful and acceptable to modern world. Morality in Buddhism is essentially practical in that it is only a means leading to the final goal ultimate happiness. On the Buddhist path to Emancipation, each individual is considered responsible for his own fortunes and misfortunes. Each individual is expected to work his own deliverance by his understanding and effort. Buddhist salvation is the result of one’s own moral development and can neither be imposed nor granted to one by some external agent.
The theory of Buddhist ethics find its practical expression in the various precept. These precept or disciplines are nothing but general guides to show the direction in which the Buddhist ought to turn to on his way to final salvation. Although many of these precept are expressed in a negative form, we most not thing that Buddhist morality, consists of abstaining from evil without the complement of doing good.

Peter Harvey, An Introduction To Buddhism: Teaching, History and Practices, (Melbourne: Cambridge University Press, 1990)
Walpola Rahula, What The Buddha Taught, (New York: Grove Press, 1959)
K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe (Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society, 1987

 

Buku Tamu


ShoutMix chat widget
Guest