Minggu

Isu Pluralisme Agama

Pendahuluan
Pada era yang sering disebut dengan globalisasi ini, serangan terhadap Islam datang dari berbagai segi. Serangan tersebut bukan hanya berbentuk fisik, akan tetapi juga dalam bentuk non fisik. Serangan semacam ini memunculkan peperangan gaya baru yang sering disebut dengan perang pemikiran (ghazwul fikri). Salah satu dari sebab terjadinya perang pemikiran (ghazwul fikri) adalah kemunculan pluralisme agama (religious pluralism). Paham yang satu ini menganggap akan adanya kebenaran semua agama dan sangat anti terhadap klaim kebenaran (truth claim). Makalah ini akan membahas paham tersebut dan pandangan islam terhadapnya.
Mengenal definisi Pluralisme Agama
Dalam bukunya Anis Malik Toha “Tren Pluralisme Agama” dijelaskan bahwa pluralisme agama (religious pluralism/at-ta’addudiyyah ad-diniyyah) secara etimologis berasal dari kata pluralisme dan agama. Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, sedangkan definisi agama -yang paling tepat- adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme dan lainnya. Jadi pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri fisik atau ajaran masing-masing agama.
Pluralisme agama juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (no view is true, or that all view are equally true). Paham pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu: aliran kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religion) dan teologi global (global theology). Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung gerakan globalisasi, dan paham yang kedua inilah yang kini ujung tombak gerakan westernisasi.
Kemunculan Pluralisme Agama
Pluralisme agama muncul pertama kali sekitar abad ke-18 Masehi. Abad ini merupakan abad dimana pemikiran modern bangkit setelah dua abad sebelumnya diterbitkan buku karangan Rene Descrates yang berjudul Meditations pada tahun 1641 M. Pada abad ke-18 ini, di Eropa terjadi berbagai macam konflik antara gereja dengan kehidupan di luar gereja yang berakibat pada munculnya liberalisme, yang mengusung kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Paham pluralisme ini juga muncul berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman.
Jika dilihat dari sisi histotisnya, Pluralisme agama muncul berawal dari pluralisme politik, yang merupakan produk dari liberalisme politik. Baru pada abad 19 dan 20, pluralisme agama mulai memasuki wacana teologi barat. Ini ditandai dengan munculnya gagasan beberapa teolog Kristen Liberal yang menyatakan bahwa dalam semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak.
Pengusung Pluralisme Agama
Gagasan pluralisme agama mulai masuk ke wacana pemikiran islam melalui pemikir barat seperti Rene Guenon, Fritchjof Schuon dan juga John Hick. Karya-karya mereka menjadikan insipirasi berkembangnya wacana pluralisme agama di kalangan kaum muslim.
A. Filsafat Abadi
Tokoh yang sangat terkenal dengan filsafat abadi adalah Fritchjof Schuon. Dalam karyanya yang mencapai 20 buku lebih, ia menegaskan kembali prinsip-prinsip metafisika rasional, mengeksplorasi dimensi-dimensi eksoteris agama, serta mengkritik modernitas. Schuon mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteric sekaligus menyingkap semua titik temu metafisik semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap konsep satu-satunya realitas akhir, yang mutlak, yang tidak terbatasdan maha sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepadanya.
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa Schuon merujuk Tuhan dengan sebutan Esensi. Dalam prinsipnya ini, dia memperkenalkan prinsip bahwa agama-agama di dunia ini memahami Tuhan sebagai Esensi pada level esoteris dan bukan pada level eksoteris.
B. World Theology
Wilfred Cantwell Smith berpendapat bahwa agama harus dihancurkan dan digantikan dengan yang dia namakan cumulative tradition yaitu tradisi-tradisi yang terhimpun dalam sejarah manusia dan sebagai hasil interaksi antara berbagai kumpulan dan anasir keagamaan dan budaya yang hidup seperti keyakinan, ritus, ritual, teks suci dan tafsirnya, mitos, seni dan lain sebagainya hingga membentuk suatu sistem yang karakteristik. Selain cumulative tradition, Smith mengajukan solusi yang lain yaitu faith ( iman yang sifatnya pribadi). Menurut Smith kedua termionologi mepunyai makna yang jelas, definitif, spesifik, distinctive, dan realistis, dapat diketahui, diobservasi, dan dikaji secara historis dan empiris. Dan yang terpenting kedua terminologi ini dapat mencakup orang yang beriman, tidak beriman dan skeptik.
Di sini terlihat Smith bercita-cita ingin menyatukan semua tradisi-tradisi dalam agama maupun budaya sebagai solusi dari pluralisme agama yang telah banyak memakan korban bagi ummat manusia baik dari segi finansial maupun nyawa manusia. Selain itu kata agama diganti menjadi tradisi karena menurut Smith kata agama adalah sumber masalah bagi agama-agama di dunia ini. Maka dari itu Smith menggunakan kata tradisi untuk menghilangkan dan menghancurkan jarak antara agama yang satu dengan agama yang lain. Yang nantinya agama Islam, Kristen, Budha dan Hindu berubah menjadi tradisi Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Jika teori ini dapat terwujud maka seseorang dapat menjadi Muslim dan Kristen sekaligus dalam waktu yang sama. Orang dapat pergi ke masjid pada hari Jum’at dan ke Gereja pada hari minggu. Jika hal ini dapat dilakukan maka Smith menjamin tidak akan ada lagi pertikaian antar agama. Karena para manusia dalam melaksankan doktrin dan ibadahnya sudah melewati lintas agama.
Agar teori Smith yang agak rumit ini mudah difahami, maka dia menggunakan Newtonian Revolution sebagai analogi teorinya yang telah menemukan teori bahwa seluruh planet adalah sama dalam hukum gravitasi dan pergerakan, teori ini merupakan kebalikan dari anggapan manusia sebelumnya bahwa hukum-hukum alam hanya berlaku di bumi saja.
Dari teori Revolusi Newton ini, Smith ingin mengatakan bahwa setiap pemeluk agama maupun yang bukan pernah mengalami religion experience dalam bertemu dengan Tuhannya. Dan religion experience ini akan menjadi faith (iman yang sifatnya pribadi), kemudian dari kumpulan faith para penganut agama tersebut membentuk cumulative tradition. Dari analogi ini sepertinya Smith berpendapat bahwa dalam pluralisme agama masalah ritual tidaklah penting, karena esensi dari ritual-ritual tersebut muaranya adalah menuju Tuhan, hanya bentuk dan caranya saja yang berbeda. Yang terpenting adalah bagaimana para penganut agama itu pernah mengalami Tuhan sehingga menyebabkan keyakinan dan kepercayaan tentang eksistensi Tuhan.
C. Global Theology
John Hick memulai analisisnya tentang pluralisme agama di mana Smith berhenti yaitu pada iman. Menurut Hick dalam bukunya yang berjudul An Interpretation of Religion yang dikutip oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya yang berjudul Tren Pluralisme Agama adalah:
“Agama-agama sebagai institusi-institusi, dengan doktrin-doktrin teologis dan etika-etika perilaku yang membentuk tapal batas-tapal batasnya, tidaklah timbul karena realitas agama memang meniscayakan hal itu, tetapi karena perkembangan semacam ini merupakan sesuatu yang secara historis tak dapat terhindarkan ketika sarana komunikasi antar berbagai kelompok kultural masih belum maju. Sekarang karena dunia telah menjadi satu kesatuan komunikasional, kita sedang bergerak menuju situasi baru di mana wacana atau pemikiran keagamaan menjadi mungkin dan patut melampaui batas-batas kultural dan historis ini.”
Berdasarkan pernyataan di atas, Hick ingin mengatakan bahwa terkotak-kotaknya wacana pemikiran keagamaaan yang disebabkan oleh doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran agama serta kultur di mana agama tersebut tumbuh, bukan merupakan kemauan agama itu sendiri melainkan karena belum adanya sarana komunikasi yang canggih untuk menghubungkan agama-agama tersebut sehingga jika kita memandang antara agama yang satu dengan yang lain yang terlihat hanyalah perbedaan-perbedaannya saja. Dan sekarang seiring dengan majunya dunia yang disebabkan oleh globalisasi maka dunia telah menjadi sempit karena seseorang dapat berkomunikasi dengan siapa saja bahkan antar negara sekalipun sehingga memungkinkan untuk mengembangkan wacana pemikiran keagamaan melampaui batas-batas kultural dan historis.
Dan wacana pemikiran lintas kultural ini harus dikemas dalam kemasan yang Hick katakan sebagai Global Theology karena menurut Hick era globalisasi harus direspon dengan membangun teologi Global. Karena teologi Global ini akan sesuai dengan kondisi pluralitas agama sebagai bentuk kehidupan beragama yang realistis.
John Hick berusaha menginterpretasikan paradigma Thomas S. Kuhn melalui model Copernican Revolution, yang menemukan “sentralitas matahari” dalam galaksi sebagai ganti planet bumi yang dahulu secara umum diyakini manusia. Dengan demikian John Hick menganjurkan keharusan “transformasi orientasi dari “pemusatan agama” menuju “pemusatan Tuhan”. Untuk menghindari problem lisnguistic gender (laki-laki dan perempuan), dan untuk tetap memelihara netralitas, dia memilih menggunakan terminologi The Real (Zat Yang Nyata) sebagai pengganti terminologi God (Tuhan).
Argumentasi Pengusung Pluralisme Agama
Di samping dikarenakan mengatasnamakan toleransi dan HAM, para pengusung pluralisme juga selalu mencari celah-celah dalam membenarkan pendapatnya. Berbagai argumen (hujjah) yang dianggap mendukung pendapat mereka, mulai dari pemakaian logika, sejarah, para tokoh bahkan sampai kepada dalil yang ada di kitab suci sekalipun, mereka ambil dan mereka jadikan landasan dalam meyakinkan sasarannya. Biasanya dalil yang dipakai dalam menjustifikasi pendapat mereka adalah diambil dari Q.S Al-Baqarah: 62. Mereka beranggapan bahwa ayat ini merupakan bukti adanya kebenaran dalam tiap-tiap agama, terutama agama besar dunia; Islam, Kristen dan Yahudi. Hanya Allah yang berhak menentukan seseorang masuk surga atau neraka (surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah).
Padahal dalam Islam, walaupun surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah, akan tetapi di samping memberikan semacam tips untuk bisa sampai ke sana, Allah juga mengumumkan cirri-ciri kandidat ahli surga maupun neraka. Di samping itu, yang dimaksud dalam ayat tersebut menurut para mufassir adalah orang yang beriman kepada kerasulan Muhammad ataupun mereka beriman kepada nabi-nabi sebelum diutusnya nabi Muhammad. Selain itu, ayat tersebut juga telah dimansukh oleh ayat yang turun sesudahnya, yaitu surat Al-Imran ayat 85.
Pengaruh Pluralisme Agama dalam Tubuh Umat Islam
Banyak sekali dampak yang ditimbulkan dari paham pluralisme agama ini. Dampak ini bukan sekedar akan mendangkalkan aqidah umat islam, akan tetapi lebih dari itu, yakni menghilangkan islam dari muka bumi ini. Diantara dampak (pengaruh) yang muncul akibat paham pluralisme agama ini secara umum adalah sebagai berikut:
a. Tren humanisme sekuler yang menjadikan nilai-nilai humanisme sekuler, seperti relativisme dan kesetaraan.
b. Keimanan bersama (common faith) dengan ajakan agama tanpa tuhan.
c. Menjadikan keimanan lebih dekat dengan kekufuran dikarenakan Tuhan dianggap menurut Tuhan itu sendiri.
d. Kebebasan mutlak yang menyebabkan anjuran dan dorongan terhadap kebebasan bearagama dan tidak beragama.
Selain dampak diatas yang diakibatkan oleh paham pluralism agama, paham ini juga mengandung beberapa konsekuensi diantaranya; Konsekuensi gagasan pluralisme agama yang pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama yang sudah ada sebelum pluralisme agama dari kehidupan umum. Ini berarti, sebagaimana persepsi Barat terhadap agama, pluralisme agama menegaskan “wilayah peran” bagi agama-agama yang sudah ada yaitu pada wilayah privat hubungan individu dengan tuhannya belaka. Sedangkan wilayah lain dalam kehidupan manusia harus tunduk pada pluralisme agama. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekulerisme. Konsekuensi berikutnya dari pluralisme agama adalah keseragaman yang muncul akibat hilangnya identitas-identitas agama dalam kehidupan umum.
Pengaruh pluralisme agama juga merabah hampir ke seluruh penjuru dunia tidak terkecuali Indonesia. Paham ini menyebar ke Indonesia diperkenalkan oleh para sarjana muslim yang pernah belajar di barat. Beberapa pemikir muslim yang menyebarkan paham pluralisme agama tersebut diantaranya:
a. Nurcholish Madjid
Dalam bukunya Islam dan Doktrin Peradaban dia menulis; pandangan keagamaan pada dasarnya Islam bersifat pluralis. Lebih lanjut dia mencontohkan, dalam filasafat parenial yang menyatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Dia menyimpulkan, bahwa sesungguhnya pluralisme adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin untuk dihindari.
b. Sukidi Mulyadi
Sukidi Mulyadi adalah alumnus UIN Jakarta. Dia berpendapat bahwa klaim yang menganggap hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan keselamatan adalah teologi yang salah.
c. Alwi Shihab
Dalam bukunya, dia mengatakan bahwa prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur’an adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan begitu layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lebih lanjut dia mengtakan, bahwa eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur’an.
d. Ulil Abshar Abdalla
Menurutnya semua agama adalah sama. Semuanya menuju jalan kebenaran.
e. Budhy Munawar Rahman
Dalam artikelnya, dia menulis bahwa yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman-tanpa harus melihat agamanya apa-adalah sama dihadapan Tuhan. Karena tuhan kita semua adalah Tuhan yang satu.
f. Musdah Mulia
Dalam bukunya Muslimah Reformis, dia menggunakan metode konstektualisasi dalam menafsirkan Q.S 60:10. Dia menyatakan bahwa karena konteksnya telah berubah, maka hukum pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim sudah boleh.
Pandangan Islam Terhadap Pluralisme Agama
Islam memiliki konsep ketuhanan tersendiri yang sangat berbeda dengan konsep ketuhanan agama lain. Konsep ketuhanan islam adalah tauhid murni yang berlandaskan pada wahyu, bukan seperti tauhid Yahudi yang tribal dan rasis dan juga bukan tauhid kristen yang trinitarian. Islam adalah agama sekaligus peradaban. Di dalamnya terdapat berbagai macam aturan yang meliputi setiap aspek kehidupan manusia. Tidak ada agama yang sesempurna islam, dan hanya islam yang dapat diterima di sisi Allah.
Pluralisme agama tidak dapat diterima oleh Islam. Bukan saja tidak memiliki dasar yang jelas, tetapi juga dapat merusak tatanan konsep Tawhid. Konsep Tawhid dalam Islam merupakan konsep genuine dalam melihat Allah, manusia dan alam. Mencari legitimasi pluralisme agama dalam Islam (Al-Qur’an, sunnah dan syariat Islam) sama artinya meruntuhkan konstruksi Islam yang sudah mapan. Selain itu, pluralisme agama akan membongkar konsep yang sudah al-ma‘lûm min al-dîn bi al-dharûrah, seperti konsep Ahli Kitab dan kawin beda agama. Dengan begitu, pluralisme agama adalah paham yang “merusak” agama, khususnya Islam.

Penutup
Karena kemunculannya yang memang datang dari barat, maka sudah dapat dipastikan bahwa pluralisme agama juga memiliki pandangan hidup (worldview) barat. Pandangan hidup barat yang bersumber dari akal semata, menjadikan paham-paham yang dihasilkannya-seperti pluralisme- jauh dari unsur-unsur agama wahyu (Islam). Oleh karenanya Islam sangat menolak paham pluralisme ini. Oleh karena itu, paham yang sudah masuk dan berkembang ke dalam tubuh umat islam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada penangan yang serius sehingga penyebarannya dapat segera dihentikan.

DAFTAR PUSTAKA
Qordhawi, Yusuf, Al-Islam Kama Nu’minu bihi; Dhowabitu wa malamihu (Al-Kohiroh; Nuhdhotu Mishra Lith-Thoba’ah wan-Nassyr wat-Tauzi’, 1999)
Toha, Anis Malik, Dr., Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005)
Husaini, Adian, Liberalisasi Islam di Indonesia; Fakta dan Data (Jakarta; Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2006)
_________, Hegemoni Kristen-Barat; Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani, 2006)
_________, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta: Gema Insani, 2005)
Arif, Syamsuddin, Dr., Orientalis dan Diabolisme pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008)
Jurnal Islamia, tahun 1 no.3/September-November 2004
___________, tahun 1 no.4/Januari-Maret 2005
Hasan, HM Afif, Dr. M.Pd, Fragmentasi Ortodoksi Islam; membongkar akar sekularisme (Malang: Pustaka Bayan, 2008, cet. Ke-2)
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Keagamaan: Proyek Gabungan Kolonialisasi, Kristenisasi dan Orientalisme, (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), hal. 14
Al-Maraghi, Syaikh Ahmad Mushtofa, Tafsir Al-Maraghi (Kairo: Mushthafa Al-Bab Al-Halabi, jld I)
Al-Qurthubi, Imam, Al-Jami’ Li Ahkamil ‘Qur’an (Kairo: Darul hadits, 2002, jld 2)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Buku Tamu


ShoutMix chat widget
Guest